Minggu, 13 Januari 2008

Sejarah

Sekelumit Sejarah Pulau Untung Jawa

Diusianya sang cukup tua, (sekitar 6 generasi), pulau Untung Jawa menyimpan "sekelumit sejarah" seputar pemerintahan Hindia Belanda dan Jepang. Saat Indonesia dikuasai Oleh Hindia Belanda , ternyata pulau pulau di wilayah kelurahan Untung Jawa sudah dikuasai oleh orang orang pribumi yang berasal dari daratan pulau Jawa. Sejak tahun 1920-an wilayah ini dipimpin oleh seseorang yang biasanya dipanggil 'Bek' (Lurah-red) Fi'i dan Bek Kasim, mereka berdomisili di Pulau Kherkof ( sekarang P. Kelor) dan memimpin beberapa pulau.
Penguasaan Belanda menjadikan nama nama pulau yang ada dikepulauan seribu sekarang yang kita kenal berbau Belanda , kemudian pasca kemerdekaan RI nama nama tersebut diubah.

beberapa nama pulau yang diganti adalah sebagai berikut :
- Pulau Amiterdam menjadi Pulau Untung Jawa.
- Pulau Middbur menjadi Pulau Rambut (suaka margasatwa).
- Pulau Rotterdam menjadi Pulau Ubi Besar.
- Pulau Sehiedam menjadi Pulau Ubi Kecil.
- Pulau Purmerend menjadi Pulau Sakit kemudian diubah kembali menjadi Pulau Bidadari.
- Pulau Kherkof menjadi Pulau Kelor.
- Pulau Kuiper menjadi Pulau Cipir/Khayangan.
- Pulau Sibuk menjadi Pulau Onrust.

Pindah
Sekitar tahun 1930-an, karena kondisi daratan pulau yang Abrasi dimakan air laut, Bek Marah (nama Lurah tersebut) menganjurkan rakyatnya yang tinggal di Pulau Kherkof untuk pindah ke Pulau Amiterdam (Unung Jawa).
Perjalanan dengan kapal layar sampailah di Pulau Amiterdam, dan penduduk asli pulau menerima dengan tangan terbuka . Nama asli penduduk Amiterdam tersebut antara lain Cule, Kemple, Deharman, Derahim, Selihun, Sa'adi, Saemin dll, mereka menganjurkan agar segera memilih lahan untuk langsung 'digarap'. Akhirnya Pulau Amiterdam berganti nama menjadi "Pulau Untung Jawa" yang berarti keberuntungan bagi orang orang dari daratan pulau jawa saat itu.
Berakhirnya nama Amiterdam berakhir pulau kepemimpinan Bek Marah yang kemudian digantikan oleh Bek Midih dengan masa jabatan selama kurang lebih 10 tahun, lalu digantikan oleh Bek Makasan kemudian Bek Saenan.

Serangan Nyamuk besar besaran
Sekitar tahun 1940-an tibalah kemalangan bagi penduduk Untung Jawa yakni datangnya serangan nyamuk besar besaran, karena tak tahan dengan penderitaan rakyatnya, Bek Saenan menyarankan untuk bermukim ke Pulau Ubi Bsar, namun penderitaan tiada henti, untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari hari yang biasa mereka dapat dari Pasar Ikan Sunda Kelapa menjadi sangat sulit, ini diakibatkan penjajahan Nippon (Jepang) saat itu.
Tahun1945 perubahan besar terjadi diseluruh pelosok Nusantra karena Indonesia telah merdeka dari belenggu penjajah. Perubahan inipun dirasakan oleh masyarakat kepulauan seibu pada umumnya, antara lain kata 'Bek' berubah menjadi Lurah beitu juga dengan kepemimpinannya.
Pemerintahan bukan lagi Hindia Belanda atau Jepang, melainkan Pemerintahan Indonesia. Berubahnya mekanisme kepemerintahan, Bek Saenan pun digantikan oleh Lurah pertama yaitu Lurah Maesan.
Hari berganti hari, bulanpun demikian, tanpa disadari Pulau Ubu Besar takluput dari Abrasi, atas prakarsa Lurah maesan dengan persetujuan pemerintah mereka hijrah yang kedua kalinya ke Pulau Untung Jawa.

Menjadi Desa Wisata Nelayan
Tepatnya tanggal 13 Februari 1954, bapak lurah bersama penduduk berinisiatif mendirikan tugu peringatan kepinahan yang terletak ditengah tengah pulau tersebut. Mulai saat itu semakin banyak kemajuan yang dirasakan masyarakat Pulau untung Jawa dan pemerintah DKI tidak tinggal diam memperhatikan kemajuannya.
Lama sudah kepemimpinan Lurah Maesan dan kemudian digantikan oleh lurah lurah lainnya. Nama nama lurah yang memimpin di Pulau Untung Jawa sampai sekarang adalah : Maesan, Muran, Asmawi, Marzuki, Safi'i, Abdul Manaf, Machbub Sanadi, Haman Sudjana, Ambas, Slamet Riyadi S.sos , dan Agus Irwanto AP.M.Si dengan wakilnya Bapak Mahdi.
Pemerintah dengan segala daya upaya yang didukung oleh masyarakat terus meningkatkan pembangunan dan taraf kehidupan. Dan akhirnya mulai tahun 2002 Pulau Untung Jawa dicanangkan sebagai Desa Wisata Nelayan.

Tidak ada komentar: